Oleh : Raidah Athirah, Muslimah tinggal di Norwegia
SEPERTI sebuah perkataan bijak bahwa belajar bisa dimana saja. Dan harus saya akui ada banyak pelajaran hidup yang saya dapatkan selama berhijrah mengikuti Abu Aisha yang memang selama ini bekerja di Norwegia.
Pelajaran hidup ini bernama kejujuran. Mengapa saya tulis judul di atas? Tak lain agar kita sebagai Muslim mengambil cermin dan mengikat dengan kuat prinsip ini dalam kehidupan. Bukankah ini salah satu akhlak Nabi kita yang tercinta? Kejujuran ini bukan mengharapkan dunia melainkan sebuah doa semoga hidup kita kaya dengan keberkahan.
Kejadian bertransaksi dengan orang Norwegia saya saksikan saat kami hendak membeli mobil bekas. Biaya yang harus kami keluarkan terlalu mahal hanya untuk sekadar “register” supaya bisa legal menyetir mobil dengan plat bendera putih merah di tanah Viking ini.
Dengan sangat terpaksa Abu Aisha menjual mobil yang sudah banyak menemani hari-hari berat saya selama mengandung Aisha Pisarzewska.
Hidup di sini menuntut mandiri. Ini juga pelajaran agar hati kami senantiasa bersyukur. Memiliki mobil bukanlah hal prestisius melainkan sebuah kebutuhan mengingat akses transportasi umum seperti bus punya jadwal khusus di sini.
Bila musim dingin apalagi ditambah angin kencang, menunggu bus adalah pekerjaan yang paling berat. Mau tak mau Abu Aisha mencari mobil bekas yang harganya bisa seekonomis mungkin.
Dan tibalah pada mobil bekas volvo milik seorang wanita muda Norwegia. Saat mau melakukan transaksi Abu Aisha menyuruh kami ikut serta.
Setelah “deal” harga, pemilik mobil ini menerangkan beberapa hal termasuk kerusakan, bagian yang cacat, apa saja yang harus diperbaiki serta surat-surat penting yang harus diurus.
Saya tertegun. Betapa jujur si pemilik mobil ini. Namun Abu Aisha bilang bahwa orang-orang di sini sudah terbiasa “jujur”, apalagi untuk skala transaksi besar.
Bila kedapatan menipu bisa dilaporkan ke polisi. Mungkin ini satu hal yang membuat orang-orang disini memiliki kesadaran tersendiri.
Ada yang bilang jujur itu sulit di zaman serba penuh godaan. Memang iya, tapi hati kita tenang bila telah berlaku jujur. Keberkahan itu terasa sampai ke hari-hari kita. Bahkan bermimpi pun kita tenang.
Sebelum Abu Aisha menyerahkan sejumlah uang, wanita penjual mobil tersebut meminta Abu Aisha melakukan “test drive” untuk menunjukkan bagaimana mesin mobil. Tak ada perkataan muluk atau lips service agar mobilnyanya laku.
Sekarang saya bertanya, bagaimana laku orang-orang di tanah air dalam bertransaksi Sebagai negeri dengan julukan seribu masjid sepatutnya kejujuran itu mengalir dari masjid ke jalan-jalan kehidupan. Bukan untuk siapa-siapa kejujuran itu tapi untuk kebaikan diri sendiri.
Dalam bertransaksi atau biasa kita kenal dengan ijab kabul perdagangan, kejujuran haruslah menjadi modal utama. Bila tidak hari ini keberkahan itu datang, satu yakin bahwa kran keberkahan itu telah mengalir. Cepat atau lambat air keberkahan itu akan sampai ke rumah kita.
Berbuat curang hanyalah memberi keuntungan sesaat. Cepat atau lambat air yang kita kotori itu akan menyapu wajah kita. Hari-hari yang dilalui penuh dengan keresahan. Dan kelak di hadapan Allah, hak-hak manusia yang kita tipu akan ditagih.
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam,” (QS. al-Muthaffifîn/83:1-6).
SEPERTI sebuah perkataan bijak bahwa belajar bisa dimana saja. Dan harus saya akui ada banyak pelajaran hidup yang saya dapatkan selama berhijrah mengikuti Abu Aisha yang memang selama ini bekerja di Norwegia.
Pelajaran hidup ini bernama kejujuran. Mengapa saya tulis judul di atas? Tak lain agar kita sebagai Muslim mengambil cermin dan mengikat dengan kuat prinsip ini dalam kehidupan. Bukankah ini salah satu akhlak Nabi kita yang tercinta? Kejujuran ini bukan mengharapkan dunia melainkan sebuah doa semoga hidup kita kaya dengan keberkahan.
Kejadian bertransaksi dengan orang Norwegia saya saksikan saat kami hendak membeli mobil bekas. Biaya yang harus kami keluarkan terlalu mahal hanya untuk sekadar “register” supaya bisa legal menyetir mobil dengan plat bendera putih merah di tanah Viking ini.
Dengan sangat terpaksa Abu Aisha menjual mobil yang sudah banyak menemani hari-hari berat saya selama mengandung Aisha Pisarzewska.
Hidup di sini menuntut mandiri. Ini juga pelajaran agar hati kami senantiasa bersyukur. Memiliki mobil bukanlah hal prestisius melainkan sebuah kebutuhan mengingat akses transportasi umum seperti bus punya jadwal khusus di sini.
Bila musim dingin apalagi ditambah angin kencang, menunggu bus adalah pekerjaan yang paling berat. Mau tak mau Abu Aisha mencari mobil bekas yang harganya bisa seekonomis mungkin.
Dan tibalah pada mobil bekas volvo milik seorang wanita muda Norwegia. Saat mau melakukan transaksi Abu Aisha menyuruh kami ikut serta.
Setelah “deal” harga, pemilik mobil ini menerangkan beberapa hal termasuk kerusakan, bagian yang cacat, apa saja yang harus diperbaiki serta surat-surat penting yang harus diurus.
Saya tertegun. Betapa jujur si pemilik mobil ini. Namun Abu Aisha bilang bahwa orang-orang di sini sudah terbiasa “jujur”, apalagi untuk skala transaksi besar.
Bila kedapatan menipu bisa dilaporkan ke polisi. Mungkin ini satu hal yang membuat orang-orang disini memiliki kesadaran tersendiri.
Ada yang bilang jujur itu sulit di zaman serba penuh godaan. Memang iya, tapi hati kita tenang bila telah berlaku jujur. Keberkahan itu terasa sampai ke hari-hari kita. Bahkan bermimpi pun kita tenang.
Sebelum Abu Aisha menyerahkan sejumlah uang, wanita penjual mobil tersebut meminta Abu Aisha melakukan “test drive” untuk menunjukkan bagaimana mesin mobil. Tak ada perkataan muluk atau lips service agar mobilnyanya laku.
Sekarang saya bertanya, bagaimana laku orang-orang di tanah air dalam bertransaksi Sebagai negeri dengan julukan seribu masjid sepatutnya kejujuran itu mengalir dari masjid ke jalan-jalan kehidupan. Bukan untuk siapa-siapa kejujuran itu tapi untuk kebaikan diri sendiri.
Dalam bertransaksi atau biasa kita kenal dengan ijab kabul perdagangan, kejujuran haruslah menjadi modal utama. Bila tidak hari ini keberkahan itu datang, satu yakin bahwa kran keberkahan itu telah mengalir. Cepat atau lambat air keberkahan itu akan sampai ke rumah kita.
Berbuat curang hanyalah memberi keuntungan sesaat. Cepat atau lambat air yang kita kotori itu akan menyapu wajah kita. Hari-hari yang dilalui penuh dengan keresahan. Dan kelak di hadapan Allah, hak-hak manusia yang kita tipu akan ditagih.
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam,” (QS. al-Muthaffifîn/83:1-6).