
Dalam sebuah kitab berjudul al-Fuyûdlât ar-Rabbâniyyah Fi Ma’âtsir ath-Tharîqah al-Qâdiriyyah yang ditulis oleh Isma’il al-Qadiri al-Kailani dimuat dua bait syair dan dinisbatkan secara dusta kepada Syaikh ‘Abd al-Qadir. Bait pertama berbunyi:
كُلّ قُطْبٍ يَطُوْفُ بِالْبَيْتِ سَبْعًا # وَأنَا اْلبَيْتُ طَائِفٌ بِخِيَامِيْ
“Setiap wali Quthub melaksanakan tawaf di ka’bah tujuh kali putaran,
adapun bagi saya justru ka’bah tersebut tawaf mengelilingi kemahku”.
Artinya,
menurut penulis bait syair ini, ka’bah meninggalkan Mekah dan pergi ke
Irak untuk melakukan tawaf di kemah Syaikh ‘Abd al-Qadir. Ini jelas
merupakan kedustaan, karena Allah menetapkan ka’bah pada tempatnya di
Mekah untuk selalu dikelilingi dalam tawaf oleh seluruh kaum muslimin
tanpa terkecuali, baik di waktu siang maupun malam. Rasulullah sendiri,
pembawa syari’at dan makhluk Allah yang lebih tinggi derajatnya dari
siapapun melakukan tawaf dengan mengelilingi ka’bah, bukan ka’bah
mengelilingi Rasulullah.
Bait syair ke dua berbunyi:
لَوْ أنِّي ألْقَيْتُ سِرِّيْ عَلَى لَظَى # لَأُطْفِئَتِ النّيْرَانُ مِنْ عُظْمِ بُرْهَانِي
“Jika aku letakan rahasiahku di atas kobaran api neraka maka api neraka tersebut akan padam karena keagungan rahasiahku”.
Dalam
bait kedua ini jelas berisikan penentangan terhadap teks-teks syari’at
yang telah menetapkan bahwa surga dan neraka tidak akan pernah punah
selamanya. Seorang muslim yang berakidah benar, bahkan seorang awam
sekalipun berkeyakinan bahwa neraka tidak akan pernah padam selamanya.
Bagaimana mungkin seorang alim besar seperti al-Jailani mengucapkan
semacam bait syair di atas?![1].
2.
Kedustaan lain yang juga dikutip dalam kitab al-Fuyûdlât ar-Rabbâniyyah
di atas dan dinisbatkan kepada Syaikh ‘Abd al-Qadir adalah apa yang
disebut dengan al-Ghautsiyyah. Disebutkan dalam kitab tersebut seakan
Allah mengajak berbicara kepada Syaikh ‘Abd al-Qadir dengan mengatakan
“Ya Ghauts al-A’zham (Wahai penolong yang agung)…! Akan terjadi perkara
ini dan itu…!”. Dalam bagian lain disebutkan bahwa Allah berkata
kepadanya “Ya Ghauts al-A’zham… (Wahai penolong yang agung) makanan
orang-orang fakir (kaum sufi) adalah makanan-Ku, dan minuman mereka
adalah minuman-Ku”. Dalam kitab tersebut lafazh “Ya Ghauts al-A’zham”
berulang-ulang disebutkan.
Dalam menyikapi hal ini Syaikh Abu al-Huda ash-Shayyadi, salah seorang khalifah terkemuka dalam tarekat ar-Rifa’iyyah, berkata:
“Telah dinisbatkan kepada wali yang agung; Abu Shâlih Muhyiddin
as-Sayyid al-Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jailani --semoga Allah
meridlainya-- beberapa pernyataan dusta yang bukan dari ucapannya.
Kalimat-kalimat tersebut tidak dinukil dengan sanad yang benar darinya.
Seperti kalimat dusta yang mereka sebut dengan “al-Ghautsiyyah”.
Sesungguhnya beliau --semoga rahmat Allah selalu tercurah padanya-- jauh
dari kalimat-kalimat tersebut dan terbebas darinya”
3.
Kebohongan-kebohongan yang dinisbatkan kepada Syaikh ‘Abd al-Qadir
sengaja disisipkan oleh kaum Musyabbihah yang mengaku madzhab Hanbali ke
dalam kitab karya beliau sendiri; al-Ghunyah. Supaya dianggap bahwa
akidah madzhab Hanbali adalah akidah tasybîh, seperti akidah yang mereka
yakini. Juga supaya dianggap bahwa Syaikh ‘Abd al-Qadir berakidah
tasybîh seperti mereka, karena Syaikh ‘Abd al-Qadir dalam fiqih
mengikuti madzhab Hanbali. Di antara kedustaan tersebut adalah bahwa
Allah bersemayam di langit[3]. Keyakinan semacam ini jelas menyalahi
akidah Ahlussunnah yang telah menetapkan bahwa Allah adan tanpa tempat
dan tanpa arah.
Apa
yang disisipkan kaum Musyabbihah dalam kitab al-Ghunyah ini jelas
merupakan kedustaan. Seorang awam dari kaum muslimin yang berakidah
lurus tidak akan berkeyakinan sesat semacam ini, terlebih Syaikh ‘Abd
al-Qadir yang merupakan pemuka kaum sufi dan salah seorang ulama
terkemuka. Beliau bukan seorang yang bodoh yang tidak mengenal
sifat-sifat wajib pada Allah; yang salah satunya Mukhâlafah Li
al-Hawâdits.
Allah berfirman:
وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ (النجم: 31)
“Dan bagi Allah segala sesuatu yang ada di langit-langit dan di bumi”. (QS. Al-Najm: 31)
Ayat
ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa langit dengan segala isinya
serta bumi dengan segala isinya adalah makhluk Allah. Maka bagaimana
mungkin Allah membutuhkan kepada makhluk-Nya tersebut?! Langit dan bumi
adalah makhluk Allah, keduanya memiliki permulaan, artinya ada dari
tidak ada. Sementara wujud Allah azali; tidak memiliki permulaan dan
Abadi; tidak memiliki penghabisan. Artinya mustahil bagi Allah yang
sebelum menciptakan langit dan bumi serta tidak membutuhkan kepada
keduanya kemudian setelah menciptakan keduanya berubah menjadi
membutuhkan kepada keduanya!! Kaum Musyabbihah pasti tidak akan bisa
menjawab bila dikatakan kepada mereka kelak apa bila nanti langit dan
bumi punah, adakah Allah masih membutuhkan tempat? Lantas di mana? Dan
jika kemudian berubah tidak membutuhkan, bukankah perubahan adalah tanda
yang paling jelas dari sesuatu yang baharu (makhluk)?! Inilah di antara
tanda-tanda kesesatan orang-orang Musyabbihah.
Kaum
Musyabbihah, dalam kitab al-Ghunyah di atas juga menyisipkan kesesatan
lain terhadap Syaikh’Abd al-Qâdir. Dalam kitab tersebut mereka
menuliskan bahwa huruf-huruf al-Qur’an adalah qadîm; tidak memiliki
permulaan[4]. Pada bagian lain mereka juga menuliskan bahwa Allah
mengeluarkan suara yang mirip dengan suara halilintar[5]. Tulisan ini
jelas bukan keyakinan Syaikh ‘Abd al-Qadir yang notabene seorang sunni.
Dalam akidah Ahlussunnah telah ditetapkan bahwa tidak ada suatu apapun
yang qadîm selain Allah. Huruf-huruf, suara dan bahasa jelas merupakan
makhluk Allah. Dengan demikian maka sifat kalam Allah bukan berupa
huruf, suara maupun bahasa.
Adapun
al-Qur’an; kitab berisikan tulisan atau huruf-huruf dalam bahasa arab
Arab, disebut kalam Allah bukan berarti Allah mengeluarkan
kalimat-kalimat tersebut. Tapi al-Qur’an yang sudah berbentuk kitab
tersebut adalah sebagai ungkapan (‘Ibârah) dari sifat kalam Allah atau
dari al-Kalâm al-Dzâti. Al-Qur’an dibawa malaikat Jibrîl dari Allah
bukan berarti Jibrîl berhadap-hadapan dengan Allah, dan Allah
mengeluarkan huruf-huruf atau suara-suara yang kemudian dibawakan Jibrîl
kepada Rasulullah. Karena bila Allah mengeluarkan huruf, suara dan
bahasa maka tak ubahnya seperti manusia. Yang benar ialah bahwa malaikat
Jibrîl diperintah oleh Allah untuk mengambil bacaan-bacaan al-Qur’an
tersebut dari al-Lauh al-Mahfûzh yang telah tertulis demikian adanya dan
kemudian dibawakannya kepada Rasulullah. Dalil bagi hal ini adalah
firman Allah:
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ (الحاقة: 40)
“Sesungguhnya ia benar-benar bacaan utusan yang mulia” (QS. Al-Haqqah: 40)
Yang
dimaksud dengan ayat ini tidak lain adalah malaikat Jibrîl, sebagaimana
telah disepakati para ahli tafsir. Artinya al-Qur’an yang sekarang kita
baca dan tersusun dari huruf-huruf adalah sesuatu yang dibacakan
malaikat Jibrîl kepada Rasulullah
Di
antara yang dapat membatalkan apa yang dinisbatkan kaum Musyabbihah
kepada Syaikh ‘Abd al-Qadir di atas adalah sebuah kisah yang benar
adanya dari beliau sendiri. Suatu ketika, Syaikh ‘Abd al-Qadir dalam
khlawatnya didatangi Iblis dalam bentuk cahaya yang indah. Iblis
berkata: Wahai hambaku, wahai Abd al-Qâdir, aku adalah tuhanmu, aku
halalkan bagimu segala sesuatu yang telah aku diharamkan dan aku
gugurkan darimu segala sesuatu yang telah aku wajibkan. Maka berbuatlah
sekehendakmu karena aku telah megampuni segala dosamu baik yang telah
allu maupun yang akan datang…!!. Syaikh ‘Abd al-Qadir tanpa ragu
kemudian menjawab: Terlaknat wahai engkau Iblis…!!. Dalam pada ini
Syaikh ‘Abd al-Qadir tahu bahwa yang berbicara tersebut adalah Iblis.
Karena Allah bukan cahaya atau sinar, Allah ada tanpa tempat, Allah
tidak berkata-kata dengan suara dan huruf, dan Allah tidak akan
menghalalkan sesuatu yang diharamkannya
Asy-Syibli,
dalam menerangkan makna ma’rifat berkata: “Dialah Allah yang Esa, tidak
ada sekutu bagi-Nya. Dia Allah ada sebelum adanya segala benda dan
huruf-huruf. Dzat Allah bukan benda dan kalam-Nya bukan huruf-huruf”.
4.
Cerita-cerita yang dinisbatkan kepada Syaikh ‘Abd al-Qadir yang dimuat
dalam kitab Bahjah al-Asrâr Wa Mâ’din al-Anwâr adalah
kedustaan-kedustaan belaka. Kitab ini ditulis oleh ‘Ali asy-Syathnufi
al-Mishri dengan rangkaian-rangkaian sanad yang tidak benar, sebagaimana
penilaian sanad ini dinyatakan oleh Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam
kitab ad-Durar al-Kâminah[9]. ‘Ali asy-Syathnufi sengaja membuat
rangkaian-rangkain sanad palsu tersebut untuk menjual cerita-cerita
hingga laku di khalayak kaum muslimin[10].
Di
antara kedustaan yang dinisbatkan kepada Syaikh ‘Abd al-Qadir dalam
kitab Bahjah al-Asrâr di atas adalah pernyataan “Telapak kakiku ini
berada di atas leher seluruh wali Allah”. Pernyataan semacam ini jelas
bersebrangan dengan sifat-sifat para wali Allah yang dikenal sebagai
kaum yang sangat tawadlu dan mengutamakan al-khumûl serta menghindari
kesenangan-kesenangan duniawi. Syaikh Sirajuddin al-Makhzûmi dalam kitab
Shihâh al-Akhbâr Fi Nasab al-Sâdâh al-Fâthimiyyah al-Akhyâr menyatakan
bahwa pernyataan di atas jelas-jelas sebuah kedustaan yang dinisbatkan
kepada Syaikh ‘Abd al-Qadir. Dalam kitab tersebut, Syaikh Sirajuddin
juga menyebutkan siapa orang yang sengaja membuat penisbatan pernyataan
itu kepada al-Jailani
Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda di hadapan beberapa orang sahabatnya:
إنّ التّوَاضُعَ أفْضَلُ الْعِبَادَةِ (رَوَاهُ ابْنُ حَجَر فِي الآمَالِي)
“Sesungguhnya sikap tawadlu adalah ibadah yang paling utama”. (HR. Ibn Hajar dalam al-Âmâli al-Mishriyyah).
Rasulullah
mengucapkan hadits ini di hadapan para sahabatnya bukan berarti mereka
orang-orang yang tidak tawadlu. Kebanyakan para sahabat, terlebih para
sahabat terkemuka beliau (Kibâr al-Shahâbah) adalah orang-orang yang
tawadlu. Hadits hendak ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa sikap
tawadlu adalah sikap yang sangat terpuji. Sementara kebalikannya, yaitu
sikap takabur, sombong dan riya’ adalah sifat-sifat tercela. Sikap
tawadlu inilah yang selalu diteladani seluruh para wali Allah, termasuk
oleh Syaikh ‘Abd al-Qadir. Bahkan dalam beberapa kesempatan Syaikh ‘Abd
al-Qadir menyatakan bahwa derajat ketaqwaan dan kewalian tidak lain
salah satunya diraih dengan sifat tawadlu dan lapang dada (Salâmah
al-Shadr). Artinya, perkataan “Telapak kakiku ini berada di atas leher
seluruh wali Allah” jelas memberikan pemahaman kesombongan. Kalimat
semacam ini bagaiman mungkin dinyatakan Syaikh ‘Abd al-Qadir yang
menjunjung sifat-sifat tawadlu’?!
Syaikh Abu al-Huda ash-Shayyadi berkata:
“Adapun apa yang tertulis dalam kitab Bahjah al-Asrâr karya
asy-Syathnufi tentang manâqib Syaikh ‘Abd al-Qadir yang memuat
hikayat-hikayat dan riwayat-riwayat maudlû’ (palsu), hal ini telah
dinilai oleh para pemuka sufi sendiri. Di antara mereka ada yang menilai
bahwa asy-Syathnufi sengaja membuat kedustaan-kedustaan tersebut dengan
tujuan-tujuan pribadi. Penilaian ini di antaranya dari Ibn Rajab
al-Hanbali dalam Thabaqât al-Hanâbilah dalam penulisan biografi Syaikh
‘Abd al-Qadir. Sebagian sufi lain mengatakan bahwa asy-Syathnufi adalah
seorang pembuat cerita-cerita dusta. Mereka menyatakan bahwa
asy-Syathnufi tidak tahu apa-apa, ia selalu mengambil cerita-cerita
apapun, baik yang benar maupun yang tidak benar”
Selanjutnya Syaikh ash-Shayyadi berkata:
“Adapun yang ia tulis dalam Bahjah al-Asrâr dengan rangkaian sanad yang
dinisbatakan kepada Syaikh ‘Abd al-Qadir tentang kata-kata “telapak
kakiku ini berada di atas leher seluruh wali Allah”, para ulama telah
berselisih pendapat padanya. Pendapat al-Hâfizh Ibn Rajab al-Hanbali,
al-Imâm al-‘Izz al-Fârutsi asy-Syafi’i, adz-Dzahabi, al-Taqy al-Wasithi,
Ibn Katsîr dan mayoritas ulama terkemuka lainnya mengingkari kata-kata
tersebut dan menafikannya sebagai pernyataan Syaikh ‘Abd al-Qadir.
Mereka mengatakan bahwa kata-kata tersebut adalah di antara
kedustaan-kedustaan yang dibuat al-Syathnufi, di nama hal tersebut
dirangkai dengan sanad yang tidak bisa dijadikan sandaran”
Masih
dalam kitab Bahjah al-Asrâr, di dalamnya juga tertulis: “Ketahuilah
oleh kalian sesungguhnya amal ibadah kalian tidak masuk ke dalam bumi
tapi naik ke langit, dengan dalil firman Allah: “Ilayhi Yash’ad al-Kalim
al-Thayyib Wa al-‘Amal al-Shâlih Yarfa’uh…”, maka Tuhan kita berada di
arah atas, Dia bersemayam di atas ‘arsy…”. Tulisan ini tanpa kita
ragukan adalah karya orang-orang Musyabbihah-Mujassimah. Merekalah yang
merusak madzhab Hanbali dengan keyakinan sesat semacam ini. Kaum
Musyabbihah dan Mujassimah tersebut tidak hanya mengotori madzhab
Hanbali tapi juga memalsukan perkataan-perkataan para ulama Hanâbilah
seperti Syaikh ‘Abd al-Qadir yang notabene seorang sunni bermadzhab
Hanbali. Dalam pada ini asy-Sya’rani mengatakan bahwa apa yang tertulis
dalam Bahjah al-Asrâr tersebut adalah sisipan dan kepalsuan dari
tangan-tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Adakah seorang wali
Allah, seorang yang ‘arif dan alim berkeyakinan semacam ini?!
5.
Pernyataan beberapa orang yang menisbatkan dirinya kepada tarekat
al-Qadiriyyah mengatakan bahwa seorang mursyid akan terpelihara dari
segala kesalahan. Karenanya setiap ucapan dan tingkah laku seorang
mursyid hendaklah menjadi panutan tanpa harus dibantah sedikitpun. Dalam
pada ini sebagian mereka dalam menggambarkan Syaikh ‘Abd al-Qadir
membuat sya’ir berbunyi:
إنّ لِشَيْخِيْ تَسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اسْمًا # كَسُمَى ذِي الْجَلاَلِ فِي اسْتِجَابِ الدّعَاءِ
“Sesungguhnya Syaikhku memiliki 99 nama, seperti nama Allah “Dzu al-Jalal” dalam mengabulkan setiap doa”.
Artinya
menurut penulis bait syair ini Syaikh ‘Abd al-Qadir memiliki 99 nama
seperti 99 nama Allah yang salah satunya mengabulkan doa-doa para hamba.
Kandungan bait ini jelas berisikan tasybîh; penyerupaan Allah dengan
makhluk-Nya dan benar-benar merupakan kesesatan dan kekufuran.
Syaikh
‘Abd al-Qadir dan para wali Allah lainnya tidak akan mengatakan bahwa
seorang wali Allah atau seorang mursyid selalu terpelihara dari
kesalahan. Ini dapat kita lihat dari pernyataan beliau sendiri dalam
kitab Âdâb al-Murîd:
إذَا عَلِمَ الْمُرِيْدُ مِنْ الشّيْخِ خَطَأً فَلْيُنَبِّهْهُ، فَإنْ
رَجَعَ فَذَاكَ الأمْرُ وَإلاّ فَلْيَتْرُكْ خَطَأَهُ وَلْيَتْبَعِ
الشّرْعَ
“Jika seorang murid mengetahui suatu kesalahan dari Syaikhnya maka
ingatkanlah ia. Jika Syaikhnya tersebut kembali dari kesalahannya maka
itulah yang diharapkan -ia dapat tetap bersamanya-. Namun bila
Syaikh-nya tersebut tidak mau kembali maka tinggalkanlah kesalahannya
dan ikutilah syara’”.
Simak pula perkataan Imam Ahmad ar-Rifa’i al-Kabir:
سَلِّمْ لِلْقَوْمِ أحْوَالُهُمْ مَا لَمْ يُخَالِفُوا الشّرْعَ فَإنْ خَالَفُوا الشّرْعَ فَكُنْ مَعَ الشّرْع
“Jangan engkau hirauhkan kaum sufi terhadap keadaan apapun yang ada
pada diri mereka selama mereka tidak menyalahi syara’, namun jika mereka
menyalahi syara’ maka ikutilah syara’ -jangan mengikuti mereka-”.
Dari
beberapa pernyataan para ulama di atas dapat dipahami bahwa tidak
seorang manusiapun yang dapat terbebas dari kesalahan dalam urusan
agama, baik kesalahan kecil maupun besar. Inilah yang dimaksud dengan
hadits nabi:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أحَدٍ إلاّ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُتْرَكْ غَيْرَ رَسُوْلِ اللهِ
“Tidak seorangpun dari kalian, kecuali setiap ucapannya ada kemungkinan
benar dan ada kemungkinan salah, selain Rasulullah; selalu benar”.
Dari
pemahaman hadits ini dapat diambil kesimpulan bahwa seluruh manusia,
dari mulai para sahabat nabi hingga mereka yang hidup di masa sekarang
ini, tidak dapat menghindarkan diri dari kemungkinan berbuat kesalahan
dalam urusan agama. Kecuali Rasulullah, ia dijaga oleh Allah dari
kemungkinan kesalahan tersebut. Contoh paling kongkrit, yang hal ini
dijadikan alasan kuat oleh para ulama, adalah bahwa beberapa sahabat
Rasulullah yang telah diberi kabar gembira akan masuk surga, jatuh dalam
kesalahan. Namun hal ini tidak menafikan keutaman dan derajat mereka.
Para sahabat tersebut adalah tokoh-tokoh tertinggi dalam derajat
kewalian, artinya jauh lebih utama dari para wali Allah yang datang di
kemudian hari.
Seperti
sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab, seorang sahabat nabi yang dinyatakan
oleh nabi sendiri selalu mendapat ilham dan memiliki firasat yang sangat
kuat (nabi menyebutnya dengan muhaddats)[15]. Suatu hari ia berkata di
hadapan para sahabat lain: “Wahai sekalian manusia, janganlah kalian
membuat harga yang terlalu mahal dalam urusan mas kawin, jika datang
kepadaku berita seseorang yang melebihkan mas kawinnya di atas 400
dirham maka aku akan mengambilnya dan aku letakan di bait al-mâl (kas
negara)”. Tiba tiba seorang perempuan berkata: “Wahai Amîrul Mu’minîn
engkau tidak berhak melakukan itu. Allah berfirman: “Dan bila kalian
telah memberikan mas kawin kepada mereka, maka janganlah kalian ambil
darinya sedikitpun” QS. Al-Nisa’: 20. Kemudian sahabat ‘Umar naik
kembali ke mimbar, seraya berkata di hadapan kaum muslimin: “Wahai
manusia aku serahkan kepada kalian tentang harga-harga mas kawin kalian,
perempuan ini benar dalam pendapatnya dan ‘Umar telah salah”.
Demikian
pula yang terjadi di kalangan para ulama. Kemungkinan kesalahan dalam
memberikan fatwa adalah keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Dan bila
salah seorang dari mereka terjatuh dalam kesalahan, maka klaim salah
dari ulama yang lebih kuat pendapatnya adalah hal yang biasa terjadi.
Karenanya, Imam al-Haramain dalam beberapa kitabnya seringkali menulis:
“Ayahku berkata demikian, dan ini salah!!”. Padahal ayah beliau, bernama
‘Abdullah ibn Yusuf yang dikenal dengan sebutan Imam al-Juwaini, adalah
seorang ulama terkemuka di kalangan madzhab Syafi’i. Bahkan, karena
sangat agungnya keilmuan Imam al-Juwaini, sebagian ulama berkata jika
setelah nabi Muhammad ada lagi seorang nabi maka al-Juwaini inilah yang
berhak atas kenabian tersebut.
Dengan
demikian pernyataan sebagain pengikut tarekat bahwa seorang mursyid
selalu terpelihara dari segala kesalahan adalah sebuah kesesatan belaka.
Pernyataan mereka ini jelas tanpa didasarkan kepada ilmu agama. Seperti
sebagian mereka yang berkata bahwa seorang syeikh atau mursid
mengetahui segala sesuatu yang diperbuat oleh muridnya, sekalipun mursid
tersebut sedang di tempat tidurnya. Sebagian lainnya berkata bahwa
seorang mursid mengetahui hal-hal yang gaib dan mengetahui segala
sesuatu yang terlintas di dalam benak setiap muridnya. Na’udzu Billâh.
6.
Sebagian pengikut tarekat al-Qadiriyyah, juga beberapa pengikut tarekat
lainnya beranggapan bahwa bergabung dalam komunitas tarekat adalah
suatu kewajiban. Pernyataan semacam ini jelas merupakan kesesatan. Ini
sama juga dengan mewajibkan suatu perkara yang tidak wajib dalam Islam.
Benar,
para ulama menyatakan bahwa tarekat adalah suatu yang baik. Walapun ia
merupakan bid’ah atau sesuatu yang baharu; karena tidak pernah ada pada
masa Rasulullah dan masa sahabatnya, namun ia merupakan bid’ah hasanah
atau bid’ah yang baik. Tujuan utama dari dirintisnya tarekat oleh para
ulama sufi dan orang-orang saleh terdahulu adalah untuk mendorong
meningkatkan nilai takwa kepada Allah. Para ulama empat madzhab sepakat
bahwa bid’ah atau sesuatu yang baharu yang tidak ada di masa Rasulullah
dan para sahabatnya terbagi kepada dua bagian.
Pertama;
Bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik, yaitu seuatu yang baharu yang
sejalan dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah. Kedua; Bid’ah sayyi’ah
atau bid’ah yang bersebrangan dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah.
Dalil yang menguatkan adanya pembagian bid’ah kepada dua bagian ini
adalah sabda Rasulullah:
مَنْ
سَنَّ فِي اْلإسْلاَمِ سُنّةً حَسَنَةً فَلَهُ أجْرُهَا وَأجْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أنْ يَنْقُصَ مِنْ أجُوْرِهِمْ
شَىءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الإسْلاَمِ سُنّةً سَيّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا
وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ مِنْ بَعْدِهِ بِهَا مِنْ غَيْرِ أنْ يَنْقُصَ مِنْ
أوْزَارِهِمْ شَىءٌ (رَوَاهُ مُسْلِم).
“Barang
siapa merintis dalam Islam akan suatu yang baik, maka bagi orang
tersebut pahala dari apa yang ia perbuat dan pahala dari orang-orang
yang mengikutinya sesudahnya, dengan tanpa berkurang sedikitpun dari
pahala orang-orang tersebut. Dan barang siapa merintis dalam Islam
sesuatu yang buruk, maka bagi orang tersebut dosa dari apa yang ia
perbuat dan dosa dari orang-orang yang mengikutinya sesudahnya, dengan
tanpa berkurang sedikitpun dari dosa orang-orang tersebut” (HR. Muslim
dalam Shahih-nya).
Contoh
dari bid’ah hasanah sangat banyak, seperti; pembuatan titik-titik pada
huruf huruf al-Qur’an dan harakat i’râb-nya, merayakan peringatan maulid
nabi Muhammad, membuat mihrab-mihrab masjid dan lainnya. Termasuk dalam
bid’ah hasanah ini adalah tarekat-tarekat yang dirintis oleh para wali
Allah dan orang-orang saleh.
Dengan
demikian kita tidak meragukan bahwa tarekat-tarekat seperti
al-Qadiriyyah, an-Naqsyabandiyyah, ar-Rifa’iyyah, as-Suhrawardiyyah,
al-Jistiyyah, as-Sa’diyyah, asy-Syadziliyyah, al-Badawiyyah,
ad-Dasuqiyyah, al-Maulawiyyah dan berbagai tarekat lainnya, tujuan
dirintisnya adalah sesuatu yang baik dan masuk dalam pengertian bid’ah
hasanah. Mereka yang merintis tarekat-tarekat tersebut adalah
orang-orang saleh, ahli ilmu dan amal yang konsisten dalam menjalankan
syari’at Rasulullah. Bila kemudian di belakang hari tarekat-tarekat
tersebut dimasuki kesesatan-kesesatan maka hal itu tidak merusak asal
kebolehan tarekat itu sendiri, hanya saja tentu yang harus
dipermasalahkan sekaligus disingkirkan adalah
penyimpangan-penyimpanganya, bukan tarekatnya.
Bergabung
dengan salah satu tarekat yang ada bukan suatu kewajiban. Sebagian
mereka yang mewajibkannya adalah pernyataan tanpa dasar. Pada
hakekatnya, komitmen yang dituntut dari setiap orang muslim adalah agar
selalu bertakwa, berpegang teguh dengan ajaran-ajaran Islam, yaitu
dengan mengerjakan segala yang diwajibkan dan menjauhi segala yang
dilarang. Sementara itu, tarekat yang berisikan bacaan-bacaan dzikir
dengan ditambah janji atau berbaiat kepada seorang mursyid untuk
memegang teguh syari’at Islam tujuan utamanya adalah meningkatkan
kualitas takwa. Artinya, tanpa bergabung dengan tarekat atau tidak,
komitmen awal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepada setiap
hamba muslim adalah agar selalu menjaga nilai takwa dan meningkatkan
kualitasnya dalam berbagai keadaan dan tempat. Kemudian bila dinyatakan
bergabung dengan tarekat merupakan kewajiban, berarti sekian banyak
orang dari sebelum bermunculannya tarekat-tarekat tersebut adalah
orang-orang yang berdosa. Jelas, klaim semacam ini tanpa dasar.
Di
dalam beberapa kitab tulisan para ulama pengikut tarekat
al-Naqsyabandiyyah dan para ulama lainnya telah dijelaskan bahwa
bergabung dengan tarekat bukan merupakan kewajiban. Di antaranya dalam
kitab al-Sa’âdah al-Abadiyyah Fimâ Jâ’a Bihi an-Naqsyabandiyyah karya
Syaikh ‘Abd al-Majid Ibn Muhammad al-Khani al-Khalidi an-Naqsyabandi dan
kitab al-Hadîqah an-Nadiyyah Wa al-Bahjah al-Khâlidiyyah karya Syaikh
al-‘Allâmah Muhammad Ibn Sulaiman al-Baghdadi al-Hanafi; salah seorang
khalifah tarekat an-Naqsyabandiyyah. Dalam kitab yang terakhir disebut
dinyatakan bahwa Ibn Hajar menyebutkan dalam kumpulan fatwa-fatwa
besarnya beberapa gambaran dari tatacara mengambilan janji oleh para
Syaikh dari tangan seorang yang bertaubat, serta disebutkan pula bahwa
mengambil janji di hadapan seorang mursyid atau di atas tangan seorang
Syaikh yang saleh adalah sesuatu yang baik dan dicintai