Islamic - Di tengah pertarungan antara hak dan batil, terlebih pasca
berhasilnya kekuatan batil menguasai pemerintah kaum muslimin. Kebatilan
tahu bahwa mereka tidak akan menang selama ada sekelompok dari umat ini
yang berpegang dengan din-nya. Karena itu adalah sumber
kekuatan dan kemuliaan umat ini. Melihat fenomena itu musuh akan
senantiasa berusaha menghapus identitas umat ini, yaitu dengan
menjauhkannya dari sumber kekuatannya.
Setelah berulang kali mereka gagal menyelewengkan teks-teks syariat,
mereka mulai mencoba untuk menyelewengkan pemahaman terhadap nash-nash
tersebut. Yaitu dengan cara membuat penafsiran alternatif atau
mencari-cari ketergelinciran para ulama guna memberikan warna baru
terhadap pemahaman nash syariat yang bertentangan dengan pemahaman
salaf.
Dalam menempuh upaya ini mereka mengeluarkan sumber daya yang begitu
besar. Dan rencana mereka tidak akan berhasil kecuali dengan
memanfaatkan para penuntut ilmu dan ulama, baik disadari atau tidak.
Sebaliknya, para penuntut ilmu dan ulama yang mengganggu usaha mereka
selalu dihalang-halangi dan dipersulit dalam meyampaikan kebenarannya.
Posisi Ulama dalam Islam
Di dalam Islam ulama memiliki kedudukan yang sangat mulia. Allah
meninggikan derajat orang yang berilmu. Dan Rasulullah SAW menjadikan
para ulama sebagai pewarisnya. Akan tetapi, “al jaza’ min jinsil amal”
(balasan yang diterima berbanding lurus dengan usaha). Seiring dengan
agungnya kedudukan ulama di sisi ulama dan rasulnya ada jalan berat yang
harus ditempuh. Jalan berat tidak hanya dalam menuntut ilmu, akan
tetapi saat mengamalkan dan mendakwahkan ilmu itu.
Ibnu Jama’ah Al-Kinani Asy Syafi’i berkata, “Pahamilah bahwa semua
dalil tentang keutamaan ilmu dan ulama hanya diperuntukkan bagi ulama
yang mengamalkan ilmunya, yang baik, dan yang bertakwa. Dengan ilmunya
ia hanya mencari ridha Allah dan kedudukan mulia di sisi-Nya, kelak di
dalam surga yang penuh nikmat. Bukan ulama yang mencari ilmu untuk
maksud jahat, atau dengan kebiasaaan buruk, atau untuk memperoleh materi
duniawi, seperti harta, kedudukan, dan pengikut yang banyak.” (Tadzkiratus Sami’ wal mutakallim, Hal 46)
Perkataan di atas mengisyaratkan bahwa tidak semua orang yang
memiliki ilmu berhak mendapat keutamaan ahlul ilmi yang disebutkan oleh
Allah maupun Rasul-Nya. Dapat kita simpulkan bahwa ulama yang berhak
mendapatkan keutamaan sebutan rabbani ialah mereka yang mampu mengemban
ilmu yang mewariskan amal saleh, yang berani lantang menyuarakan
kebenaran dan beramar makruf nahi munkar.
Ibnu Jama’ah menukil di dalam buku beliau wahyu Allah kepada nabi
Daud. Diriwayatkan dari Bisyr bin Harits, bahwa Allah mengirimkan wahyu
kepada Daud yang berbunyi, ”Jangan kau jadikan antara Aku dan dirimu
para alim yang terfitnah (dengan dunia), karena dengan mabuk (terhadap
dunia) dia akan menghalangimu dari kecintaan terhadap-Ku. Mereka itu
(Ulama yang terfitnah dunia) adalah pemutus jalan terhadap
hamba-hamba-Ku.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim).
Nukilan di atas memberi gambaran kepada kita bahwa tidak semua orang
yang memiliki ilmu mampu memberikan petunjuk kebenaran. Ada kalanya
justru orang berilmu menjadi penghalang dan perintang dakwah.
Berilmu Tapi Bukan Ulama
Ada kalanya ilmu yang dimiliki seseorang tidak menuntunnya untuk
beramal. Bahkan lebih parah lagi, terkadang ilmu yang dimilikiny justru
menuntunnya untuk menyalahkagunakan apa yang Allah anugerahkan
kepadanya.
Allah SWT berfirman :
Artinya : ““Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang
telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan
petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab,
mereka itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat (pula) oleh semua (mahluk)
yang dapat melaknati. Kecuali mereka yang telah bertobat dan mengadakan
perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka Aku menerima tobat mereka,
dan Aku-lah yang Maha Menerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqoroh 159-160)
Allah SWT berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian
besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar
memakan harta orang secara batil dan mereka menghalang-halangi (manusia)
dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan
tidak menafkahkannya di jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka,
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (At-Taubah: 34).
Syaikh Abdurrahman As-Sa’dy mengatakan: Ini adalah peringatan Allah
kepada kaum mukminin mengenai mayoritas pendeta dan rahib. Maksudnya,
para ulama dan ahli ibadah yang tega memakan harta orang lain dengan
cara yang batil, bukan dengan cara yang dibenarkan secara syariat.
Mereka juga menghalangi manusia dari jalan Allah. Jika mereka berhak
menerima gaji yang berasal dari harta umat, atau umat yang mengeluarkan
dana untuk membayar mereka, itu tidak lain karena ilmu yang mereka
miliki dan ibadah yang mereka kerjakan. Juga karena petunjuk dan
bimbingan yang mereka berikan kepada manusia. Mereka mau mengambil harta
tersebut namun mereka malah menghalangi manusia dari jalan Allah.
Artinya, mereka mengambil harta tadi dengan jalan yang tidak benar
dan merupakan sebuah bentuk ketidak-adilan. Sebab, masyarakat tidak
mengeluarkan hartanya untuk mereka begitu saja, tetapi supaya mereka mau
manunjukkan dan menuntun mereka ke jalan yang lurus. Di antara bentuk
pengambilan harta umat dengan jalan yang tidak benar ialah harta yang
dibayarkan oleh umat dengan tujuan agar mereka mau mengeluarkan fatwa
atau memberikan keputusan bukan dengan hukum yang telah Allah turunkan
demi membela kepentingan mereka. Dalam ayat ini terdapat peringatan
mengenai para pendeta dan rahib yang menyangkut dua hal:
- Pertama, perbuatan mereka yang mengambil harta orang lain dengan jalan yang tidak benar.
- Kedua, perbuatan mereka yang berusaha menghalangi manusia dari jalan Allah.
Tentang adanya sebagian dari ulama yang menyelewengkan ilmunya untuk
kepentingan duniawi Rasulullah SAW sudah memperingatkan jauh-jauh hari.
Beliau bersabda :
القضاة ثلاثةٌ: واحدٌ في الجنّة، واثنان في النار، فأمّا
الّذي في الجنّة فرجلٌ عرف الحق فقضى به، ورجل عرف الحق فجار في الحكم فهو
في النار، ورجلٌ قضى للناس على جهلٍ فهو في النار
”Hakim ada tiga macam; satu golongan akan masuk surga, dan dua
golongan lainnya akan masuk neraka. Kelompok yang akan masuk surga ialah
mereka yang mengetahui kebenaran lalu memutuskan perkara berdasarkan
kebenaran tersebut. Sedangkan kelompok yang kedua ialah mereka yang
mengetahui kebenaran tetapi tidak adil dalam memutuskan perkara, maka
mereka akan masuk neraka. Sedangkan yang ketiga ialah orang yang jahil
tetapi mau dijadikan hakim dalam memutuskan perkara orang, maka ia juga
akan masuk neraka.” (HR Abu Daud di dalam Sunan-nya no. 3573)
Imam Ibnul Qayim berkata, “Ibnu Abdil Barr mengatakan, seperti halnya
hakim dibagi menjadi tiga golongan, dua golongan masuk neraka dan satu
golongan masuk surga, demikian pula para mufti, terbagi menjadi tiga
golongan. Tidak ada perbedaan status di antara mereka selain keputusan
hakim bersifat mengikat dan wajib dieksekusi, sedangkan keputusan
seorang mufti tidak mengikat.” ( I’lâm Al-Muwâqi’în: 2/134.)
Karena mengkhawatirkan hal tersebut, maka para salaf dan para ulama
yang lurus juga mengingatkan akan adanya fenomena orang berilmu namun
ilmunya tidak menuntunnya ke jalan yang diridhoi Allah.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau berkata, “Sekiranya para
ulama menjaga ilmunya dan menempatkannya pada tempatnya, maka dengan
ilmunya itu, mereka akan mampu memimpin manusia di zamannya. Tapi
sayang, mereka malah menyerahkannya kepada para penguasa dunia untuk
sekadar mendapat keuntungan dunia mereka. Akhirnya, mereka pun terhina
dengan ilmunya. Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:
“Barang siapa yang bisa membulatkan tekadnya hanya untuk mengejar
akhiratnya, maka Allah akan memenuhi keperluan dunianya. Sedangkan
orang yang ambisinya yang beraneka macam hanya sekadar mencari dunia,
maka Allah tidak peduli di lembah mana ia akan binasa.” (HR Ibnu Majah, menurut Ibnu Muflih di dalam sanad hadits ini ada perawi yang matruk) (Akhlaqul Ulama hal 92, Imam Ajurri)
Atha’ Al-Khurasani berkata, “Dahulu, para ulama sebelum kita merasa
cukup dengan ilmunya sehingga tidak butuh dengan dunia orang lain.
Mereka sama sekali tidak tertarik dengan dunia yang mereka miliki. Hal
itu memaksa para pemilik dunia rela merogoh kantungnya agar bisa
mendapatkan ilmu dari para ulama. Sedangkan di zaman kita, hari ini,
para ulama kita justru rela mengorbankan ilmunya untuk mendapatkan dunia
mereka. Sehingga para pemilik tempat dan harga ilmu di tangan para
ulama.
Oleh karena itu, kalian harus selalu waspada; jangan dekati
pintu-pintu para penguasa. Di pintu itulah terdapat fitnah yang menggoda
seperti tempat-tempat peristirahatan unta. Kalian tidak akan pernah
bisa mengambil dunia mereka, kecuali mereka juga mengambil agamamu.” (Akhlaqul Ulama Hal. 93)
Diriwayatkan dari Makhul Asy-Syami, “Sesungguhnya tidak akan datang
sesuatu yang dijanjikan kepada manusia sampai datang zaman di mana
keadaan ulama mereka lebih busuk daripada bangkai keledai.” (Akhlaqul Ulama)
Abdullah bin Mubarak berkata, “Adakah yang lebih merusak agama selain para raja dan ulama jahat serta para rahibnya.”
Baik nash-Al-Quran, hadits maupun perkataan para ulama di atas
mengisyaratkan bahwa tidak setiap orang yang memiliki ilmu mendapat
keutamaan yang disebutkan di dalam Islam. Semua argumen yang telah kami
paparkan di atas menunjukkan bahwa ada klasifikasi ulama. Mereka bukan
hanya satu tipe saja.
Pembagian semacam ini seyogianya bisa dipahami dengan baik sehingga
tiada lagi orang yang mencaci kita dengan menuduh kita sebagai orang tak
beradab yang suka mencela ulama. Sebab, ulama rabbani memiliki
kerakteristik tersendiri, bukan hanya semata-mata karena dia terkenal
memiliki ilmu yang tinggi. Sebagaimana ulama yang cacat juga memiliki
kriterianya sendiri, bukan semata karena tuduhan sebagian orang
terhadapnya.
Standar baku dalam menentukan klasifikasi ini bukan hanya berasal
dari kemasyhuran atau celaan manusia terhadap mereka. Terlebih penilaian
ini diambil dari ketenaran atau cap negatif yang disebarkan media massa
yang hari ini hampir semuanya memihak kepada yang batil. Atau standar
yang sumbernya dari penilaian jarh wa ta’dil yang disematkan oleh orang-orang yang tidak menggunakan standar para ulama salafusaleh. Sebab, pergeseran disiplin jarh wa ta’dill hari ini yang paling menonjol ialah penilaian dari sisi loyalitas dan aloyalitas para ulama kepada penguasa.
Jika seseorang memiliki loyalitas kepada penguasa, maka orang-orang
menyebutnya orang yang adil. Sedangkan orang yang berlepas diri tidak
mau mendekat penguasa, maka mereka menyebutnya sebagai ulama cacat.
Ujian terbesar yang hari ini banyak dihadapi para ulama ialah
pengorbanan yang mereka persembahkan kepada para penguasa dunia.
Sampai-sampai mereka rela melacurkan diri mereka tanpa rasa malu.
Sebelum itu, mereka telah menghinakan ilmu yang selama ini mereka emban.
Penulis: Mitahul Ihsan Lc.
Diringkas dari buku “Potret Ulama: Antara yang Konsisten dan Penjilat”
Sumber: kiblat.net