Menurut sang penulis yang asli dari bumi Aceh ini, buku ini adalah bentuk kontribusi orang Aceh sendiri terhadap khazanah keilmuan terkhusus peradaban Aceh. Selama ini karya-karya sejarah Aceh yang beredar kebanyakan bukan berasal dari penulis Aceh. Yang notabene, mereka adalah bagian dari sejarah itu sendiri.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa para Penguasa Aceh Darussalam
memiliki hubungan yang mesra dengan Kekhilafahan Usmani. Keduanya adalah
kekuasaan yang sama-sama berasaskan Islam, yang terpisahkan jarak yang
sangat jauh. Wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam adalah bagian
dari Asia Tenggara sedangkan Kekhilafahan Usmani berada di sisi lain
benua Asia dan sebagian Eropa. Dua kekuasaan besar yang memang letaknya
tidak berdekatan. Maka, tidak salah apabila para sejarawan mengatakan
keduanya mempunyai hubungan yang menarik. Lantas, bagaimana rekam tali
persaudaraan antara keduanya?
Buku yang berjudul Relasi Kerajaan Aceh dan Kerajaan Darussalam
ini adalah karya dari Baiquni Hasbi yang diadaptasi dari tesis yang
bersangkutan di Universitas Ankara, Turki. Buku ini mengungkapkan
pentingnya mengetahui motif dari relasi Kerajaan Aceh Darussalam dengan
Usmani. Mengurai sejarah yang sempat tersamarkan mengenai dinamika
hubungan dan kerjasama politik antar keduanya pada abad ke 16 dan 19
sekaligus memberikan nafas baru untuk historiografi itu sendiri. Untuk
menggali fakta sejarah tersebut, penulis banyak menggunakan berbagai
sumber yang berasal dari Arsip Turki Usmani langsung. Seolah penulis
ingin mengajak pula bagaimana bentuk relasi tersebut dari sudut pandang
Kekhilafahan Islam terakhir ini.
Menurut sang penulis yang asli dari bumi Aceh ini, buku ini adalah
bentuk kontribusi orang Aceh sendiri terhadap khazanah keilmuan
terkhusus peradaban Aceh. Selama ini karya-karya sejarah Aceh yang
beredar kebanyakan bukan berasal dari penulis Aceh. Yang notabene,
mereka adalah bagian dari sejarah itu sendiri. Itulah pentingya menulis
relasi antar keduanya. Pada awal abad ke 16 Aceh masyhur dan tercatat
sebagai destinasi yang menjanjikan. Di periode ini pula catatan sejarah
mengenai Aceh menuai kabar gembira. Banyak para pelancong dunia telah
mencatatnya.
Baiquni membagi bukunya ke dalam empat bagian. Di bagian pertama, ia
menggambarkan keadaan kedua kekuatan besar tersebut di tempo waktu yang
sama, yakni abad ke 16 dan ke 19 terutama dalam aspeki ekonomi dan
politik. Aceh pada era ini merupakan kekuasaan yang kuat. Ia membuktikan
dengan adanya peningkatan perdagangan lada di masa Sultan Al Kahhar. Al
Kahhar adalah seorang Sultan yang kuat, sehingga ketika memimpin Aceh
mampu memberikan harapan besar untuk Aceh. Tak diragukan lagi, ia mampu
menguatkan perekonomian. “Bahkan, sebuah catatan perbendaharaan Portugis di Goa (India) pada tahun 1590 Aceh memperoleh keuntungan besar dari itu”
(hal 25). Hal yang sama terjadi Usmani di abad ke 16. Sulayman Al
Qonuni sukses membawa Usmani menjadi satu-satunya kekuatan terbesar di
dunia. Di tahun 1541 di Benua Eropa, ia menaklukan Hungaria. “Hingga akhirnya kekuasaan Kristen mengakui kehebatannya” (hal 42).
Abad ke 19, Aceh terkepung dengan kekuatan lua yang berimbas pada kemundurannya. “Kerajaan asing seperti Belanda, Inggris saling mengadu demi mendapatkan wilayah Aceh”
(hal 26). Kondisi yang sama di rasakan Usmani. Kemunduran drastis
terjadi di abad ke 19. Ketertinggalan Usmani dengan Barat menjadi satu
dari beberapa dampaknya. Meskipun pembaruan-pembaran dilakukan, tidak
mampu mengubah kondisi. “Kerajaan Eropa bertambah kuat dan akibatnya
cengkeraman mereka (Inggris, Prancis) semakin tajam dan kuat dalam
sistem pemerintahan Usmani” (hal 46).
Bagian kedua dari bukunya yang merupakan Inti, Baiquni mengungkap
bahwa relasi di abad ke 16 dibuktikan dengan adanya surat dari Sultan
al-Kahhar yang dikirimkan kepada Sultan Sulayman al-Qanuni pada tahun
1566 M. Ia mengirimkan dua utusannya yang bernama Umar dan Husein.
Tujuannya adalah meminta bantuan militer kepada Sultan Sulayman Agung.
Namun hal itu tidak langsung disepakati oleh Sultan Sulayman kata
penulis. “Sebab karena jarak antara keduanya sangat jauh, maka
sultan akan menyertakan orang Usmani sebagai utusan yang membersamai
dalam perjalanan ke Aceh Darussalam” (hal 57).
Selain permintaan dalam bidang militer, Kerajaan Aceh meminta kepada Usmani agar masuk sebagai vilayet
(propinsi). Ia mengajukan agar Aceh disamakan kedudukannya dengan
Yaman, Mesir, Jedah yang merupakan bagian propinsi dari Kekhilafahan
Usmani. Atau, bisa disebut Sultan Aceh menawarkan kerajaannya sebagai
negara vasal Kekhilafahan Usmani, sehingga mengakui kedaulatan Usmani yang merupakan satu-satunya kepemimpinan di dunia Islam (hal 63).
Lada dan rempah-rempah menjadi komoditas yang unggul bagi Kerajaan
Aceh Darussalam. Hubungan dagang antara keduanyapun tak luput dari
catatan sejarah selain dalam bidang militer. “Puncaknya pada tahun
1560an, tepatnya pada tanggal 27 Agustus 1564 laporan dari Tuan tanah
dari Cairo bahwa mereka menerima lebih dari 18.000 kwintal lada 3000
kwintal rempah-rempah” (hal 94).
Lain halnya dengan Sultan Sulayman. Sultan Salim II juga mengeluarkan
surat resmi kekhilafahan kepada utusan Aceh. Dalam surat tersebut ia
menunjuk Mustafa Cavus sebagai duta Usmani dan Kurtoglu Hizir Reis
(mantan laksamana Iskandariya) untuk memimpin ekspedisi ke Aceh. Selain
itu Sultan juga memerintahkan Gubernur Mesir untuk membantu dan
mempermudah urusan duta Sultan al-Kahhar, baik saat mengambil kebutuhan
atau ingin membeli kuda dan senjata untuk melawan Portugis (hal 65).
Permintaan bantuan kembali Aceh lakukan di abad ke 19. “Seorang yang bernama Abdurrahman al-Zahir tiba di Istanbul sekitar 27 April 1873 untuk meminta bantuan militer pada Usmani” (hal 89). Karena kondisi genting telah terjadi di Aceh Darussalam akibat serangan dari Belanda.
Bagian ke empat buku ini, penulis mengungkap pentingnya relasi yang
terjadi antar keduanya. Menurutnya, relasi itu akan berdampak pada
saling menguatnya kekuasaan Usmani dan juga Aceh Darussalam. Membuat
geram kekuatan luar dari kerajaan-kerajaan kristen maupun lainnya yang
memiliki misi untuk menguasai. Akan tetapi, diluar itu semua sudah
menjadi keharusan bagi Usmani. “Bentuk komitmen Usmani untuk melindungi Muslim yang menjadi kewajibannya untuk wilayah Islam di dunia” (hal 104).
Bagian ke lima, dijelaskan tentang pengaruh dari realasi dua kerajaan
tersebut. Salah satunya, baru-baru ini terdapat penemuan mata uang emas
di Kampung Pande. Dalam kumpulan koin emas tersebut ditemukan mata uang
yang diperkirakan berasal dari Kerajaan Usmani. Karena pada koin
tertulis “Sultan Sulayman bin Sultan Salim Syah ‘uzza nashruhu dhuriba fi Misr sanah 927”, yang berarti “Sultan Sulayman bin Sultan Salim Syah, semoga dikuatkan kemenangannya, dicetak di Mesir pada tahun 927/6 H” (hal 111).
Sejumlah kekurangan masih ditemukan dari buku ini. Terdapat banyak
kesalahan penulisan, misalnya dalam pemilihan kata, kalimat yang belum
sempurna, tidak adanya spasi dalam sebuah kalimat. Itupun dijumpai tidak
hanya satu, atau dua, melainkan lebih. Pembahasan relasi yang ditulis
oleh Baiquni mencakup abad ke 16 dan 19 sehingga ada kekosongan
informasi untuk pembaca tentang kondisi abad ke 17 dan 18. Bagi pembaca
awam ini akan menjadi kendala.
Sebagai kesimpulan, buku ini sangat baik untuk dijadikan rujukan
terutama bagi para peminat sejarah tentang hubungan Kerajaan Aceh dan
Turki Usmani. Tidak hanya itu, pada bagian lampiran buku ini banyak juga
dimuat arsip-arsip dari Turki Usmani yang penulis gunakan untuk
menjelaskan keintiman ini. Penulis seperti ingin mengajak kita untuk
terus membaca dan mengungkap banyak fakta yang sangat menarik dalam
perjalanan sejarah bangsa ini.
Wallahu ‘alam bisshowab
Judul Buku : Relasi Kerajaan Aceh Darussalam dan Kerajaan Utsmani
Penulis : Baiquni Hasbi
Penerbit : LSAMA
Terbit : Cetakan Pertama, April 2014
Tebal : xvi + 184 ; 14×21 cm
Oleh : Rizka K. Rahmawati
Peresensi adalah alumni Program Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta dan kontributor di komunitas Jejak Islam untuk
Bangsa (JIB) .