Nama lengkap Ibnu Malik adalah Syeikh Al-Alamah Muhammad Jamaluddin ibnu Abdillah Ibnu Malik al-Thay,
lahir di Jayyan (Jaén). Daerah ini sebuah kota kecil di bawah kekuasaan
Andalusia (Spanyol), sekarang merupakan salah satu propinsi di Spanyol
dengan luas wilayah 422 km² yang masuk dalam wilayah Otonomi Andalusia.
Pada saat itu, penduduk negeri ini sangat cinta kepada ilmu, dan mereka
berpacu dalam menempuh pendidikan, bahkan berpacu pula dalam mengarang
buku-buku ilmiah. Pada masa kecil, Ibnu Malik menuntut ilmu di
daerahnya, terutama belajar pada Syaikh Al-Syalaubini (w. 645 H).
Setelah menginjak dewasa, ia berangkat ke Timur untuk menunaikan ibadah haji,dan diteruskan menempuh ilmu di Damaskus. Di Negeri Syam ia belajar ilmu dari beberapa ulama setempat, antara lan:
Untuk murid beliau Imam Nawawi, sempat beliau abadikan dalam nadham kitab Alfiyah beliau pada bait:
Ibnu Malik wafat di Damaskus pada malam Rabu 12 Ramadhan tahun 672 H dalam usia 75 tahun
Beliau menambahkan lagi ;
“Mengungguli dari Alfiyah Ibnu Mu’thi dengan seribu bait”.
"Dan arang masih hidup bisa mengalahkan seribu orang mati".
“(Alfiyah saya ini) mengungguli dari Alfiyah Imam Sayuthi”.
Namun kedua Alfiyah yang terakhir ini ternyata tidak sepopuler Alfiyah Ibnu Malik.
Diambil dari berbagai sumber (Dikutip; mudimesra.com)
Setelah menginjak dewasa, ia berangkat ke Timur untuk menunaikan ibadah haji,dan diteruskan menempuh ilmu di Damaskus. Di Negeri Syam ia belajar ilmu dari beberapa ulama setempat, antara lan:
- Al-Sakhawi (w. 643 H).
- Syaikh Ibnu Ya’isy al-Halaby (w. 643 H).
- Syeikh Hasan bin Shabbah
- Syeikh Ibnu Abi Shaqr
- Syeikh Ibnu Najaz al-Maushili
- Ibnu Hajib
- Ibnu Amrun
- Muhammad bin ABi Fadhal al-Mursi
Di kota Dasmaskus dan Aleppo (Halab) nama Ibn Malik mulai dikenal dan
dikagumi oleh para ilmuan, karena cerdas dan pemikirannya jernih. Ia
banyak menampilkan teori-teori nahwiyah yang menggambarkan teori-teori
mazhab Andalusia, yang jarang diketahui oleh orang-orang Syiria waktu
itu. Teori nahwiyah semacam ini, banyak diikuti oleh murid-muridnya,
seperti imam Al-Nawawi, Ibnu al-Athar, Al-Mizzi, Al-Dzahabi,
Al-Shairafi, dan Qadli al-Qudlat Ibn Jama’ah. Untuk menguatkan teorinya,
sarjana besar kelahiran Eropa ini, senantiasa mengambil saksi (syahid)
dari teks-teks Al-Qur’an. Kalau tidak didapatkan, ia menyajikan teks
Al-Hadits. Kalau tidak didapatkan lagi, ia mengambil saksi dari
sya’ir-sya’ir sastrawan Arab kenamaan. Semua pemikiran yang diproses
melalui paradigma ini dituangkan dalam kitab-kitab karangannya, baik
berbentuk nazham (syair puitis) atau berbentuk natsar (prosa). Pada
umumnya, karangan tokoh ini lebih baik dan lebih indah dari pada
tokoh-tokoh pendahulunya.
Ibnu Malik memiliki semangat yang besar dalam mengajarkan ilmu yang
telah ia miliki. Ketika ia menghadiri majlisnya yang kadang belum di
hadiri oleh murid-muridnya, maka beliau berdiri di jerjak jendela dan
berteriak “qiraah, qiraah, Arabiyah, Arabiyah” (maksudnya
memanggil siapa saja yang ingin belajar ilmu qiraah atau ilmu arabiyah
kepada beliau). Bila ternyata tidak ada yang hadir maka berdoa dan
segera pergi dengan berkata “saya tidak tau untuk membebaskan
tanggunganku kecuali dengan cara ini, karena kadangkala tidak ada yang
tau kalau saya duduk di sini”.
Walaupun Ibnu Malik juga ahli dalam ilmu qiraah, namun tidak di ketahui
murid beliau dalam ilmu qiraah. Ibnu Jazri mengatakan “ketika beliau
masuk kota Aleppo (Halab) banyak para ulama yang mengambil ilmu arabiyah
dari beliau, tetapi saya tidak mengetahui seorangpun yang membaca ilmu
qiraah di hadapannya dan saya juga tidak punya sanad ilmu qiraah kepada
beliau”. Kemungkinan besar ilmu qiraah beliau ajarkan di selain kota
Aleppo.
Di antara murid-murid Ibnu Malik adalah :
- Anak beliau sendiri, Muhammad Badaruddin (w. 686 H)
- Imam Nawawi
- Ibnu Ja’wan
- Ibnu Munajjy
- al-Yunaini
- Baha` bin Nuhas
- Syihabuddin asy-Syaghury
- Ibnu Abi Fath al-Ba’li
- al-Fariqy
- Ibnu Hazim al-Azra’i
- Ibnu Tamam at-Talli
- Majduddin al-Anshari
- Ibnu ‘Aththar
- ‘Alauddin al-Anshari
- Abu Tsana’ al-Halabi
- Abu Bakar al-Mizzi
- Ibnu Syafi’
- Badaruddin bin Jamaah
- Ibnu Ghanim
- Al-Birzali
- Ibnu Harb
- ash-Shairafi
- dll
Untuk murid beliau Imam Nawawi, sempat beliau abadikan dalam nadham kitab Alfiyah beliau pada bait:
رَجُلٌ مِنَ الْكِرَامِ عِنْدَنَا
“Dan seorang laki-laki mulia di sisi kami”.Ibnu Malik wafat di Damaskus pada malam Rabu 12 Ramadhan tahun 672 H dalam usia 75 tahun
Kitab alfiyah Ibnu Malik
Salah satu karya Imam Ibnu Malik yang paling tersohor adalah kitab Alfiyah, sebuah nadham terdiri dari 1002 bait yang menjelaskan ilmu nahu sharaf. Kitab ini di pelajari di seluruh dunia sampai saat ini. Kitab alfiyah ini sebenarnya merupakan kitab ringkasan dari kitab nadham karangan beliau sendiri al-Kafiyah al-Syafiyah yang terdiri dari 2757 bait. Karena itu, kitab alfiyah juga di sebut dengan kitab al-Khulashah yang berarti ringkasan.
Di antara ulama, ada yang menghimpun semua tulisannya, ternyata tulisan
itu lebih banyak berbentuk nazham. Demikian tulisan Al-Sayuthi dalam
kitabnya, Bughyat al-Wu’at. Di antara karangannya adalah Nazhom
al-Kafiyah al-Syafiyah yang terdiri dari 2757 bait. Kitab ini menyajikan
semua informasi tentang Ilmu Nahwu dan Shorof yang diikuti dengan
komentar (syarah). Kemudian kitab ini diringkas menjadi seribu bait,
yang kini terkenal dengan nama Alfiyah Ibnu Malik. Kitab ini bisa
disebut Al-Khulashah (ringkasan) karena isinya mengutip inti uraian dari
Al-Kafiyah, dan bisa juga disebut Alfiyah (ribuan) karena bait syairnya
terdiri dari seribu baris. Kitab ini terdiri dari delapan puluh (80)
bab, dan setiap bab diisi oleh beberapa bait. Bab yang terpendek diisi
oleh dua bait seperti Bab al-Ikhtishash dan bab yang terpanjang adalah
Jama’ Taktsir karena diisi empat puluh dua bait. Kitab Alfiyah yang
telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di dunia ini, memiliki posisi
yang penting dalam perkembangan Ilmu Nahwu. Berkat kitab ini dan kitab
aslinya, nama Ibn Malik menjadi popular, dan pendapatnya banyak dikutip
oleh para ulama, termasuk ulama yang mengembangkan ilmu di Timur.
Al-Radli, seorang cendekiawan besar ketika menyusun Syarah Al-Kafiyah
karya Ibn Hajib, banyaklah mengutip dan mempopulerkan pendapat Ibn
Malik. Dengan kata lain, perkembangan nahwu setelah ambruknya beberapa
akademisi Abbasiyah di Baghdad, maka para pelajar pada umumnya mengikuti
pemikiran Ibnu Malik. Sebelum kerajaan besar di Andalusia runtuh,
pelajaran nahwu pada awalnya, tidak banyak diminati oleh masyarakat.
Kitab Alfiyah ini banyak di syarah oleh para ulama. Dalam kitab Kasyf
al-Zhunun, Haji Khalifah mengatakan bahwa para ulama penulis Syarah
Alfiyah berjumlah lebih dari empat puluh orang. Mereka ada yang menulis
dengan panjang lebar, ada yang menulis dengan singkat (mukhtashar), dan
ada pula ulama yang tulisannya belum selesai. Ada juga yang memberikan
catatan pinggir (hasyiyah) terhadap kitab-kitab syarah Alfiyah.
Di antara syarah-syarah kitab Alfiyah adalah :
- Syarah Alfiyah yang ditulis oleh putera Ibn Malik sendiri, Muhammad Badruddin (w.686 H) dengan nama kitab Durratul Mudhi`ah. Ini merupakan syarah kitab Alfiyah yang pertama sekali di tulisa. Syarah ini banyak mengkritik pemikiran nahwiyah yang diuraikan oleh ayahnya, seperti kritik tentang uraian maf’ul mutlaq, tanazu’ dan sifat mutasyabihat. Kritikannya itu aneh tapi putera ini yakin bahwa tulisan ayahnya perlu ditata ulang. Atas dasar itu, Badruddin mengarang bait Alfiyah tandingan dan mengambil syahid dari ayat al-Qur’an. Disitu tampak rasional juga, tetapi hampir semua ilmuan tahu bahwa tidak semua teks al-Qur’an bisa disesuaikan dengan teori-teori nahwiyah yang sudah dianggap baku oleh ulama. Kritikus yang pada masa mudanya bertempat di Ba’labak ini, sangat rasional dan cukup beralasan, hanya saja ia banyak mendukung teori-teori nahwiyah yang syadz Karena itu, penulis-penulis Syarah Alfiyah yang muncul berikutnya, seperti Ibn Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni, banyak meralat alur pemikiran putra Ibn Malik tadi. Meskipun begitu, Syarah Badrudin ini cukup menarik, sehingga banyak juga ulama besar yang menulis hasyiyah untuknya, seperti karya Ibn Jama’ah (w.819 H), Al-‘Ainy (w.855 H), Zakaria al-Anshariy (w.191 H), Al-Sayuthi (w.911 H), Ibn Qasim al-Abbadi (w.994 H), dan Qadli Taqiyuddin ibn Abdul qadir al-Tamimiy (w.1005 H).
- Al-Muradi (w. 749 H) beliau adalah murid Ibnu Hayyan. Beliau menulis dua kitab syarah untuk kitab Tashil al-Fawaid dan Nazham Alfiyah, keduanya karya Ibn Malik. Meskipun syarah ini tidak popular di Indonseia, tetapi pendapat-pendapatnya banyak dikutip oleh ulama lain. Antara lain Al-Damaminy (w. 827 H) seorang sastrawan besar ketika menulis syarah Tashil al-Fawaid menjadikan karya Al-Muradi itu sebagai kitab rujukan. Begitu pula Al-Asymuni ketika menyusun Syarah Alfiyah dan Ibn Hisyam ketika menyusun Al-Mughni banyak mengutip pemikiran al-Muradi yang muridnya Abu Hayyan itu.
- Ibnu Hisyam (w.761 H) adalah ahli nahwu raksasa yang karya-karyanya banyak dikagumi oleh ulama berikutnya. Di antara karya itu Syarah Alfiyah yang bernama Audlah al-Masalik yang terkenal dengan sebutan Audlah. Dalam kitab ini ia banyak menyempurnakan definisi suatu istilah yang konsepnya telah disusun oleh Ibn Malik, seperti definisi tentang tamyiz. Ia juga banyak menertibkan kaidah-kaidah yang antara satu sama lain bertemu, seperti kaidah-kaidah dalam Bab Tashrif. Tentu saja, ia tidak hanya terpaku oleh Mazhab Andalusia, tetapi juga mengutip Mazhab Kufah, Bashrah dan semacamnya. Kitab ini cukup menarik, sehingga banyak ulama besar yang menulis hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Al-Sayuthi, Hasyiyah Ibn Jama’ah, Ha-syiyah Putera Ibn Hisyam sendiri, Hasyiyah Al-Ainiy, Hasyiyah Al-Karkhi, Hasyiyah Al-Sa’di al-Maliki al-Makki, Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid dengan tiga syarahnya terhadap kitab Audhah Masalik dan yang menarik lagi adalah catatan kaki ( ta’liq ) bagi Kitab al-Taudlih yang disusun oleh Khalid ibn Abdullah al-Azhari (w. 905 H) dengan nama at-Tashreh li madhmun at-Taudhih.
- Ibnu Aqil (w. 769 H) adalah ulama kelahiran Aleppo dan pernah menjabat sebagai penghulu besar di Mesir. Karya tulisnya banyak, tetapi yang terkenal adalah Syarah Alfiyah. Syarah ini sangat sederhana dan mudah dicerna oleh orang-orang pemula yang ingin mempelajari Alfiyah Ibn Malik . Ia mampu menguraikan bait-bait Alfiyah secara metodologis, sehingga terungkaplah apa yang dimaksudkan oleh Ibn Malik pada umumnya. Syarah Ibnu Aqil merupakan Syarah Alfiyah yang paling banyak beredar dan di pelajari oleh kaum santri di Indonesia. Terhadap syarah ini, ulama berikutnya tampil untuk menulis hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Ibn al-Mayyit, Hasyiyah Athiyah al-Ajhuri, Hasyiyah al-Syuja’i, dan Hasyiyah Al-Khudlariy.
- Al-Asymuni (w. 929 H) bernama Manhaj Salik ila Alfiyah Ibn Malik Syarah ini sangat kaya akan informasi, dan sumber kutipannya sangat bervariasi. Syarah ini dapat dinilai sebagai kitab nahwu yang paling sempurna, karena memasukkan berbagai pendapat mazhab dengan argumentasinya masing-masing. Dalam syarah ini, pendapat para penulis Syarah Alfiyah sebelumnya banyak dikutip dan dianalisa. Antara lain mengulas pendapat Putra Ibn Malik, Al-Muradi, Ibn Aqil, Al-Sayuthi, dan Ibn Hisyam, bahkan dikutip pula komentar Ibn Malik sendiri yang dituangkan dalam Syarah Al-Kafiyah , tetapi tidak dicantumkan dalam Alfiyah . Semua kutipan-kutipan itu diletakkan pada posisi yang tepat dan disajikan secara sistematis, sehingga para pembaca mudah menyelusuri suatu pendapat dari sumber aslinya. Kitab ini memiliki banyak hasyiyah juga, antara lain: Hasyiyah Hasan ibn Ali al-Mudabbighi, Hasyiyah Ahmad ibn Umar al-Asqathi, Hasyiyah al-Hifni, dan Hasyiyah al-Shabban (4 jilid).
- asy-Syathibi (w. 790 H) dengan nama kitab beliau Maqashid asy-Syafiyah fi Syarh Khulasah Syafiyah. Merupakan salah satu syarah Alfiyah yang paling besar (6 jilid).
- Ibnu Hayyan (w. 745 H), shahib kitab Bahrul Muhid. Beliau sempat semasa dengan Ibnu Malik namun tidak sempat berguru dengan beliau. Beliau berguru dengan murid-murid Ibnu Malik. Kitab beliau bernama Manhaj as-Salik fi al-Kalam ‘ala Alfiyah Ibnu Malik
- Al-Makudi (w. 780 H). Beliau mensyarah Alfiyah dua kali, kecil dan besar. Yang di cetak saat ini adalah yang kecil yang di beri hasyiah oleh Ibnu Hamidun
- Imam Sayuthi, Bahjatul Wardiyah
- Ibnu Thulun
- Syarah Al-Harawi
- Syarah Ibnu Jazry
- Dll
Selain itu ada juga para ulama yang menuliskan i’rab dari nadham
alfiyah, seperti kitab Tamrin Thulab karangan Syeik Khalid Azhari
(w.905).
Karya lain Ibnu Malik selain kitab Alfiyah antara lain:
- Al-Kafiyah asy-Syafiya dan Syarahnya dalam bidang kaidah sharaf
- Tashil al-Fawaid wa Takmil al-Maqashid dan Syarahnya dalam bidang kaidah nahwu
- Ijaz at-Tashrif fi `ilmi at-Tashrif
- Tuhfatu al-Maudud fi al-Maqshur wa al-Mamdud
- Lamiyatu al-Af`al
- Al-I`tidhad fi adh-dha' wa azh-zha'
- Syawahid at-Taudhih limusykilat al-Jami` ash-Shahih, merupakan syarah secara nahwu dari 100 hadits yang ada di Shahih Bukhari
Ibnu Malik dan Ibnu Mu’thi
Ada kisah menarik tentang penyusunan kitan Alfiyah Ibnu Malik. Ketika memulai menulis nadhamnya, saat baru sampai pada nadham :
فائقة ألفية ابن معطي
(Kitab Alfiyah yang aku tulis ini) mengungguli kitab Alfiyah karya Ibnu Mu'thi"Beliau menambahkan lagi ;
فائقة منها بألف بيت
“mengungguli dari Alfiyah Ibnu Mu’thi dengan seribu bait”.
Sampai pada kalimat ini, Ibnu Malik kehilangan inspirasi untuk
melanjutkan nadhamnya. Beliau berusaha melanjutkannya namun hingga
sampai beberapa hari belum juga bisa beliau sempurnakan, sampai pada
suatu malam beliau mimpi bertemu dengan seseorang : Orang itu bertanya
pada beliau :
"Aku dengar kamu mengarang kitab Alfiyah dalam ilmu nahwu" Beliau menjawab : "Iya benar". Orang itu bertanya lagi : "Sampai pada nadham mana engkau menulisnya?"
Ibnu Malik menjawab : "Sampai pada 'fa'iqatan minha bi alfi baiti" orang itu bertanya "Apa yang menyebabkanmu tidak menyempurnakannya?". Beliau menjawab : "Sudah beberapa hari aku tidak bisa melanjutkan menulis nadham". Orang itu berkata lagi : "Apakah kamu ingin menyempurnakannya?" "Tentu" jawab Ibnu Malik. Orang itu berkata :
فَائِقَـةً مِنْهُ بِألْـفِ بَيْتِ ¤ وَالْحَيُّ يَغْلِبُ ألْفَ مَيِّـتِ
“Mengungguli dari Alfiyah Ibnu Mu’thi dengan seribu bait”.
"Dan arang masih hidup bisa mengalahkan seribu orang mati".
Terperangah Ibnu Malik dengan perkataan itu, Ibnu Malik bertanya : "Apakah anda Ibnu Mu'thi?" "Betul"
jawab orang itu. Ibnu Malik merasa malu kepada beliau. Keesokan
harinya, Ibnu Malik menghapus bait yang tidak sempurna itu, dan
menggantinya dengan bait lain yang isinya memuji kehebatan Ibnu Mu'thi
yaitu :
وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً ¤ مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ
“Beliau (Ibnu Mu’thi) lebih memperoleh keutamaan karena lebih awal. Beliau berhak atas sanjunganku yang indah”
وَاللَّهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ ¤ لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ
“Semoga Allah menetapkan karunianya yang luas untukku dan untuk beliau pada derajat-derajat tinggi akhirat.”
Ibnu Mu’thi adalah al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Mu’thi al-Zawawy
al-Magribi. Lahir di Magribi, menetap dalam masa yang lama di negeri
Syam (Syria), kemudian melakukan perjalanan ke Mesir sehingga beliau
wafat pada 628 H, umur beliau ketika itu 64 (enam puluh empat) tahun dan
dikebumikan dekat kubur Imam Syafi’i di Mesir.
Setelah Alfiyah Ibnu Malik, Imam Sayuthi juga mengarang kitab nadham
nahu yang melebihi Alfiyah Ibnu Malik, pada muqaddimahnya beliau berkata
:
فائقة ألفية ابن مالك
“(Alfiyah saya ini) mengungguli dari Alfiyah Ibnu Malik”.
Selanjutnya Imam al-Ajhuri al-Maliky juga mengarang nadham nahu yang melebihi nadham Imam Sayuthi dan beliau juga berkata:
فائقة ألفية السيوطي
“(Alfiyah saya ini) mengungguli dari Alfiyah Imam Sayuthi”.
Namun kedua Alfiyah yang terakhir ini ternyata tidak sepopuler Alfiyah Ibnu Malik.
Diambil dari berbagai sumber (Dikutip; mudimesra.com)